Dua hal yang sering dibenci orang, berlimpah air di musim hujan alias banjir, dan kekurangan air di musim kemarau. Suatu fenomena yang seakan menjadi tradisi setiap tahunnya. Dan kita hampir tak kuasa mengatur kedua hal tersebut.
Kehidupan modern telah mengubah semua keseimbangan alam, supaya mengikuti kehendak manusia. Seperti perubahan iklim yang lebih banyak manusia adalah faktor yang paling bertanggung-jawab atas dilema ini. Perubahan iklim disorot sebagai penyebab dari antagonisnya ketersediaan air, melimpah di musim hujan dan kekurangan di musim kemarau.
Banjir akibat hilangnya daya serap tanah.
Meskipun banyak pihak menyoroti perubahan iklim sebagai “biang keladi” terjadinya banjir. Namun disadari juga daya serap tanah mengalami penurunan draktis. Mulai dari penebangan hutan atau pembalakan liar, hilangnya fungsi lahan hijau di perkotaan, ketidak-mampuan sungai menampung air hujan, adalah rangkaian mata rantai yang bisa menyebabkan banjir. Lagi-lagi manusia di balik semua hal buruk tersebut.
Sebenarnya tidak ada alasan untuk “mengorbankan” hilangnya daya serap tanah, demi kesejahteraan manusia. Misal memperluas lahan pemukiman, atau membangun mall, demi kesejahteraan manusia, tapi mengorbankan lahan hijau, yang harusnya berfungsi sebagai penyerap air. Meskipun memang proporsi lahan hijau sudah diatur dalam sebuah peraturan, namun pelanggaran lebih suka dihukum secara bersama. Yaitu semua orang menanggung “banjir”, akibat dari tidak konsistennya dalam menegakkan proporsi lahan hijau.
Kita seakan menyerah pada perkembangan jaman, dan tidak pernah mau mengatur diri kita untuk “bekerja sama” dengan alam. Padahal kerja-sama ini bisa menghemat biaya yang tidak sedikit. Buat apa “menolak” hujan, dengan biaya yang tidak sedkit, agar tidak terjadi banjir. Maksudnya mengalihkan hujan ke laut, dengan menebar serbuk garam di atas awan, agar tidak terjadi hujan, dan banjir.
Seandainya kita bekerja-sama denga alam, yaitu menyediakan lahan hijau untuk menyerap air. Ini jauh lebih efisien dan menghemat biaya. Kita terbiasa berpikir instans, lebih suka memadamkan api, daripada mencegahnya.
Kekeringan karena hilangnya tandon alami.
Penebangan hutan adalah penyebab penting hilangnya tandon alami, yang berakibat terjadinya kekeringan di musim kemarau. Dan manusia adalah faktor yang paling bertanggung-jawab atas hilangnya tandon air alami ini. Hutan ditebang hanya untuk kesejahteraan manusia, tapi mengakibatkan kekeringan di musim kemarau.
Manusia dengan cara instan akan mengolah air sungai atau air limbah menjadi air bersih di saat kekurangan air. Padahal ada cara sederhana, yang jauh lebih murah dan efisien, yaitu membiarkan hutan tumbuh dan menjaga proporsi lahan hijau di perkotaan. Dua hal yang tidak dipilih oleh manusia dalam mengatasi banjir, dan kekeringan.
Jika kita mulai saat ini mempertahankan hutan kita, dan mengembalikan proporsi lahan hijau. Maka kita akan bisa menghemat banyak biaya dan tenaga, daripada mengatasi banjir dan kekeringan dengan cara instans. Semoga manusia segera sadar.